TKW DISIKSA DAN DIPERKOSA SAMPAI LOMPAT DARI LANTAI 3
"Salah satu Bentuk Ketidakadilan Gender"
Oleh : Pipit Deviyanti
“Berharap dapat mengubah status ekonomi keluarga, Tenaga
Kerja Wanita Asal Cianjur, Jawa Barat, pulang dengan kondisi lumpuh. Nurhayati
bin Pudin (30), TKW asal Kampung Cijunjung, Desa Bobojong, Kecamatan Mande,
Cianjur, lumpuh akibat melompat dari lantai tiga, saat hendak diperkosa
majikannya.
Informasi
yang dihimpun menyebutkan, Nurhayati berangkat menjadi TKW tahun 2008, melalui
PJTKI PT Johara Perdana Satu, yang beralamat di Jalan Jatinegara Timur 84 F,
Jakarta Timur.Perusahaan itu mengirimnya, ke Kota Mekkah, Saudi Arabia, sebagai
pembantu rumah tangga.Namun baru satu pekan bekerja, Nurhayati mendapatkan
perlakuan kasar dari isteri majikannya.
Berbagai
siksaan acap kali dilakukan istri majikan terhadap dirinya.Tidak hanya
tamparan, ancaman dan disiram minyak mendidih, menjadi santapan sehari-hari.
Namun
harapan untuk mengubah status ekonomi, membuat ia tetap bertahan. Bahkan ia
tidak merasakan sakitnya siksaan yang diberikan istri majikannya itu. Namun
menginjak bulan keempat, sang majikan pria, berusaha memerkosanya. Ketika itu,
ia tengah berada di lantai 3 rumah tersebut, ia sempat melawan dan mengacam
akan melompat.
Sang
majikan dengan nafsu bejatnya, terus berusaha memerkosanya, hingga akhirnya
Nurhayati memilih melompat.Akibatnya, Nurhayati sempat koma dan kedua kaki
Nurhayati mengalami lumpuh.
Sebelum
dibawa pulang ke Cianjur, ia sempat dirawat selama 2,5 tahun tanpa sanak
saudara di rumah sakit di Mekah. “Saya baru sadar kaki saya lumpuh, setelah
sadar dari koma di rumah sakit di Mekah,” katanya.
Derita
tiada habisnya, saat pulang ke Cianjur, ia terpaksa menumpang di rumah pamannya
Engkos, di Kampung Pasir Astana, Desa Sindangraja, Kecamatan Sukaluyu karena
rumahnya dijual suaminya yang kabur entah kemana. Nurhayati saat ini hanya bisa
tergolek lemas di rumah sang paman dan berharap mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak”.
Dari uraian kisah diatas kita dapat
melihat berbagai bentuk ketidakadilan gender. Suatu proses peminggiran yang
mengakibatkan kemiskinan dengan asumsi awal bahwa perempuan berfungsi sebagai
pencari nafkah tambahan sampai-sampai Nurhayati (30th) harus bekerja di luar
negeri menjadi TKW untuk mendapatkan upah yang lebih jika dibandingkan dengan
upah di Indonesia, dan ini sebenarnya merupakan proses pemiskinan dengan alasan
Gender (Pembagian atas dasar jenis kelamin). Hal ini juga berarti telah
terjadinya double burden atau beban ganda yang mana beban pekerjaan
salahsatu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Peran
reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen
walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja di wilayah public,
namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestic.
Alhasil upaya yang dilakukan adalah dengan mensubtitusikan pekerjaan pembantu
rumah tangga seperti ini kepada perempuan.
Bentuk kekerasan (violence) terhadap
perempuan ini merupakan konsekuensi logis dari sterotype terhadapnya. Perempuan
adalah komunitas yang rentan dan potensial untuk berposisi sebagai korban dari
kesalahan pencitraan terhadapnya atau kekerasan yang terjadi akibat bias gender
yang dalam literature feminism lazim dikenal sebagai gender-related violence,
yang berbentuk perkosaan terhadap perempuan termasuk di dalamnya kekerasan
dalam perkawinan (marital rape), aksi pemukulan dan serangan non-fisik
dalam rumah tangga, penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (misalnya
sirkumsisi), prostitusi, pornografi, pemaksaan sterelisasi dalam keluarga berencana
dan kekerasan seksual (sexual harassment).
Semua bentuk ketidakadilan gender ini
sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotype
gender laki-laki dan perempuan. Yang mana ini merupakan suatu pemberian citra
baku atau label kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu
anggapan yang salah. Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang
tidak sesuai yang bertujuan untuk menaklukan atau menguasai pihak lain.
Pelabelan negative juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun
seringkali pelabelan negative ini ditimpakan pada peremuan seperti: perempuan
dianggap cengeng, suka digoda, emosional, sebagai ibu rumah tangga dan pencari
nafkah tambahan dan pelabelan negative lainnya. Sehingga hal inilah yang
melatarbelakangi mengapa Nurhayati (30th) bekerja sebagai TKW di Saudi Arabia
hingga disiksa dan diperkosa sampai lompat dari lt.3.
Jika kasus ini dikaitkan dengan
gender, maka kekerasan berbasis gender adalah sebuah bentuk diskriminasi yang
secara serius menghalangi kesempatan perempuan untuk menikmati hak-hak dan
kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki.
Kekerasan berbasis gender yang merusak, menghalangi atau meniadakan penikmatan
oleh perempuan atas hak azasinya dan kebebasan fundamental berdasarkan hukum
internasional atau berdasar konvensi hak azasi manusia, adalah diskriminasi.
Hak-hak kebebasan itu salah satunya termasuk: hak untuk tidak mengalami
penganiayaan, kekejaman, perbuatan atau hukuman yang menurunkan martabat dan
tidak berperikemanusiaan.
Lalu pada kasus pelecehan seksual yang
dialami Nurhayati ini, “Pelecehan seksual termasuk perbuatan seksual yang tidak
menyenangkan yang dilakukan dalam bentuk tingkah laku seperti kontak fisik dan
cumbu rayuan, memperlihatkan gambar porno dan tuntutan seks, baik dengan
kata-kata maupun tindakan. Tindakan-tindakan seperti itu dapat merupakan
penghinaan dan dapat menjadi masalah keamanan dan masalah kesehatan; ini adalah
tindakan diskriminatif ketika perempuan mempunyai alasan untuk percaya bahwa
keberatannya atas tindakan seperti itu
akan tidak menguntungkan baginya dalam kaitan dengan pekerjaannya
termasuk dalam hal penerimaan pegawai atau kenaikan pangkat atau ketika hal
tersebut menciptakan suatu suasana kerja yang bermusuhan.” (Rekomendasi Umum
No. 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan. Sidang ke-11 Tahun 1992 Komite PBB
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Pasal 11,
Ayat 18).
Jika kita mengacu pada Pasal 49 ayat 1
berbunyi: “Wanita berhak atas kesempatan, syarat-syarat dan fasilitas yang sama
seperti pria untuk memilih, dipilih, dan diangkat dalam pekerjaan dan profesi
yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya” dan ayat 2: “Hak wanita untuk
mendapatkan perlindungan khusus dalam hidup berkeluarga dan pelaksanaan
pekerjaan atau profesinya yang dapat mengancam keselamatan dan kesehatannya
berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita bukan merupakan diskriminasi terhadap
pria”.
Karena alasan kodrati inilah Nurhayati
disudutkan pada keadaan yang tidak menguntungkan, disamping dia harus bekerja
keras menjadi TKW di Saudi Arabia sebagai seorang pencari nafkah tambahan yang
pada awalnya agar kebutuhan keluarganya dapat tercukupi dan memperbaiki keadaan
ekonomi keluarganya, namun pada akhirnya mengalami penyiksaan dan pemerkosaan.
Belum lagi ketika dia kembali ke Indonesia dengan keadaan kritis dan
dipulangkan ke rumah pamannya, karena rumahnya dijual oleh suaminya yang entah
kabur kemana. Terdengar sangat miris memang, bukan hanya ketidakadilan dan kekerasan
(violence) yang dilakukan oleh para majikannya di Saudi Arabia saja,
namun ketidakadilan suaminya dalam berumahtangga. Ketika Nurhayati sudah
berkorban atas beban gandanya (double burden), namun semua pengorbanannya
itu sia-sia. Ini merupakan hal yang kerap kali menghilangkan kesempatan para
perempuan, Nurhayati khususnya untuk membuktikan kapasitas dan kapabilitas.
Dalam agama pun sering dijadikan alasan untuk melegitimasi atas diskriminasi
dan ketidakadilan terhadap perempuan.
Maka dari itu kita harus memahami
gender sebagai sebuah kesadaran social Gender sebagai sebuah kesadaran social (social
consciousness) merupakan kesadaran yang ada dalam suatu masyarakat, bahwa
hal-hal yang berasal dari pembedaan jeniskelamin sifatnya socio-cultular.
Gender sebagai suatu kesadaran social ini tidak dimiliki oleh setiap orang,
olehkarena itu perlu ada kesadaran social mengenai gender , bahwa klasifikasi
atas dasar jenis kelamin dan implikasi dalam kehidupan social tidak given
(bukan takdir), tetapi bersifas socio-cultural. Karenanya, jika ada
sesuatu yang merugikan pihak-pihak tertentu (seperti kasus Nurhayati), maka hal
seperti ini sebenarnya dapat dirubah. Hal ini karena atas dasar klasifikasi ini
muncul ketimpangan-ketimpangan.
Kasus Nurhyati diatas merupakan
salahsatu bentuk ketidakadilan gender. Pada saat ini mungkin tidak disadari
secara mendalam banyak pelecehan yang diucapkan oleh laki-laki karena tidak
semua orang memiliki sensitivitas yang sama terhadap persoalan gender. Oleh
karena itu, gender sebagai kesadaran social penting adanya, dalam kerangka
memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender pada setiap level. Dan tentunya
agar kasus-kasus seperti kasus Nurhayati ini tidak terulang kembali karena kita
adalah mahluk social yang harus saling menghargai dan menghormati. Meskipun
secara biologis peran laki-laki dan perempuan berbeda, namun secara social
masing-masing mempunyai hak untuk tidak di diskriminasikan.